Perkembangan Hukum Islam di Turki

PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM DI TURKI
by syekhu in MAKALAH

I. PENDAHULUAN

Salah satu negara Islam yang terletak di kawasan Eropa Tenggara dan Asia Kecil Adalah Turki. Negara ini berbatasan langsung dengan Georgia, Armenia, Azerbijan dan Iran di Timur, Iraq, Suriah dan Laut Tengah di Selatan, Laut Hitam di Utara, Laut Aegea di Barat dan Yunani serta Belgia di Barat Laut. Luas wilayahnya sekitar 779.452 km2. Di antaranya 755.688 km2 di Asia Kecil (semenanjung Anatolia) dan 22.364 km2 di Eropa Tenggara.[1]

Turki merupakan negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam yaitu sekitar 99,2 % dari penduduk yang berjumlah sekitar 50.207.000 jiwa dan sebagian besar bermukim di bagian utara Turki. Sedangkan bagian selatan Turki dikuasai oleh orang-orang Yunani yang beragama Kristen, namun belum mendapat pengakuan dari pemerintah dan selebihnya adalah Yahudi. Bahasa resminya adalah bahasa Turki dan sebagian berbahasa Kurdi, Arab, dan Yunani.[2]

Bangsa Turki tercatat dalam sejarah Islam dengan keberhasilannya mendirikan dua buah dinasti. Yaitu dinasti Turki Saljuk dan dinasti Turki Usmani. Dinasti Turki Usmani terbentuk setelah kehancuran dinasti Turki Saljuk oleh serangan pasukan Mongol.

Semula kerajaan Usmani hanya memiliki wilayah yang sangat kecil, tetapi dengan dukungan militer yang kuat, tidak beberapa lama Usmani menjadi sebuah kerajaan besar.[3] Kemajuan dan perkemangan ekspansi kerajaan Turki Usmani yang demikian luas dan berlangsung dengan cepat diikuti pula dengan kemajuan-kemajuan dalam bidang kehidupan yang lain. Di antaranya adalah bidang keagamaan. Namun yang akan dibahas dalam makalah ini adalah kemajuan Turki di bidang keagamaan khususnya tentang perkembangan hukum Islam.

II. PEMBAHASAN

Agama dalam tradisi masyarakat Turki mempunyai peranan besar dalam lapangan sosial dan politik. Masyarakat digolongkan berdasarkan agama. Kerajaan sendiri sangat terikat dengan syari’at sehingga fatwa ulama menjadi hukum yang berlaku. Oleh karena itu ulama mempunyai tempat tersendiri dan berperan besar dalam kerajaan dan masyarakat. Tanpa legitimasi mufti, keputusan hukum kerajaan bisa tidak berjalan.[4]

Perkembangan hukum Islam di Turki dibagi oleh Harun Nasution ke dalam tiga periode besar yaitu periode awal (650-1250), periode pertengahan (1250-1800), dan periode modern (1800 sampai sekarang).[5]

Pada periode awal, syari’at Islam dilaksanakan dengan murni sesuai dengan ajaran Alquran dan sunnah. Sedangkan pada periode pertengahan sudah ada usaha untuk memasukkan hukum Islam ke dalam perundang-undangan negara yaitu ketika khalifah al-Manshur menyerukan untuk membuat suatu undang-undang yang diambil dari Alquran dan Sunnah yang berlaku untuk semua negeri.[6] Usaha ini dilakukan setelah melihat adanya perbedaan pendapat di kalangan fukaha dan perbedaan putusan di kalangan hakim-hakim dalam memutuskan suatu persoalan yang sama. Usaha tersebut tidak berhasil karena para fukaha tidak ingin memaksakan pendapatnya untuk diikuti dan karena menyadari bahwa ijtihad yang dilakukannya bisa saja salah.

Usaha tersebut baru terwujud setelah munculnya buku Al-Majallah al-Ahkam al-Adliyah pada tahun 1823. Dengan demikian dikeluarkanlah keputusan pemerintah Turki Usmani untuk memakai kitab undang-undang tersebut sebagai pegangan para hakim di pengadilan-pengadilan. Kitab tersebut terdiri dari 185 pasal yang dibagi menjadi 16 bab. Yaitu: 1) Jual beli, 2) Sewa menyewa, 3) Tanggungan, 4) Pemindahan utang atau piutang, 5) Gadai, 6) Titipan, 7) Hibah, 8) Rampasan, 9) Pengampunan, paksaan dan hak beli dengan paksa, 10) Serikat dagang, 11) Perwakilan, 12) Perdamaian dan pembebasan hak, 13) Pengakuan, 14) Gugatan 15) Pembuktian dan sumpah, 16) Peradilan.[7] Dengan demikian kitab Undang-Undang ini merupakan kitab Undang-Undang Hukum Perdata Umum (positif) pertama yang diambil dari ketentuan hukum Islam, dan diambil dari mazhab Hanafi sebagai mazhab resmi negara pada waktu itu.

Selain kitab tersebut di atas, dikeluarkan pula Undang-Undang Keluarga (Qanun ‘Ailat) pada tahun 1326, yang dikhususkan untuk masalah-masalah kawin dan putusnya perkawinan.[8] Dalam Undang-Undang ini, banyak ketentuan-ketentuannya yang tidak diambil dari mazhab Hanafi, seperti tidak sahnya perkawinan orang yang dipaksa dan tidak sahnya talaq yang dijatuhkannya.

Keluarnya kedua Undang-Undang tersebut merupakan kodifikasi hukum pertama yang bersumber pada syari’at Islam.[9] dan sebagai langkah pertama untuk meninggalkan taqlid buta dan untuk tidak terikat dengan satu mazhab tertentu, baik dalam bentuk keputusan hakim, maupun dalam pendapat orang biasa.

Pada akhir periode pertengahan mulai muncul pemikiran pembaharuan. Hal ini karena mulai adanya penetrasi Barat (Eropa) terhadap dunia Islam.[10] Namun ide-ide pembaharuan itu mendapat tantangan dari kaum ulama, karena bertentangan dengan faham tradisionalis yang terdapat di kalangan umat Islam. Kaum ulama dalam menentang usaha tersebut menjalin kerjasama dengan Yeniseri.[11] Hal ini membuat gagalnya usaha pembaharuan pertama di Kerajaan Usmani.

Pada periode modern, usaha pembaharuan kedua dimulai yaitu setelah Yeniseri berhasil ditumpas oleh Sultan Mahmud II (1808-1830) pada tahun 1826. pembaharuan inilah yang pada akhirnya membawa perubahan besar di Turki.

Langkah awal yang dilakukan Sultan Mahmud II dalam usaha pembaharuan adalah dengan merombak tradisi aristokrasi menjadi demokrasi. Gelar Sultan dipakai sebagai penguasa duniawi, dan Khalifah sebagai kepala rohaniah umat Islam.[12] Dengan demikian raja mempunyai dua bentuk kekuasaan yaitu kekuasaan memerintah negara dan kekuasaan menyebarkan dan membela Islam.

Dalam melaksanakan kedua kekuasaan tersebut, Sultan dibantu oleh Sadrazam untuk urusan pemerintahan dan Syaikh al-Islam untuk urusan keagamaan. Namun kemudian, kedudukan Sadrazam ini dihapus dan diganti dengan jabatan Perdana Menteri yang membawahi menteri-menteri dan sebagai penghubung antara para menteri dan Sultan. Sedangkan kekuasaan yudikatif yang berada di tangan Sadrazam dahulu, dipindahkan ke tangan Syaikh al-Islam. Tetapi dalam sistem baru ini, di samping hukum syari’at diadakan pula hukum sekuler, dan Syaikh al-Islam hanya menangani hukum syari’at, sedangkan hukum sekuler diserahkan kepada Departemen Perancang Hukum.[13] Sultan inilah yang pertama di kerajaan Usmani mengadakan perbedaan antara urusan agama dan urusan dunia yang pada masa selanjutnya membawa kepada adanya hukum sekuler di samping hukum-hukum syariat.

Sebagai lanjutan dari usaha-usaha pembaharuan yang dijalankan oleh Sultan Mahmud II, muncullah sebuah periode yang dikenal dengan nama Tanzimat yang dalam bahasa Turki dikenal dengan nama Tanzimat-i Khairiye[14] yang di dalamnya menghendaki pembentukan sistem konstitusi dan parlemen. Periode ini bertujuan untuk memperlancar proses pembaharuan dan dimulai dengan diumumkannya deklarasi Gulkhane pada tanggal 3 Nopember 1839. Deklarasi ini menjelaskan syariat Islam dan Undang-Undang negara pada awal masa kerajaan dipatuhi sehingga kerajaan menjadi besar dan kuat, serta rakyat hidup makmur. Tapi setelah 150 tahun terakhir tak diperhatikan lagi, sehingga kemakmuran hilang dan kemiskinan dan kebebasan negara lenyap dan lemah. Oleh karena itu, perlulah diadakan perubahan yang akan membawa kepada pemerintahan yang baik.

Selanjutnya dijelaskan bahwa seorang tertuduh akan diadili secara terbuka, ahli waris dari yang kena hukuman pidana tidak boleh dicabut haknya untuk mewarisi dan harta yang kena hukum pidana tidak boleh disita. Dan atas dasar piagam ini terjadi pula pembaharuan dalam bidang hukum, di mana Dewan Hukum yang dibentuk oleh Sultan diperbanyak anggotanya dan diberi kekuasaan membuat Undang-Undang.[15] Kodifikasi hukum dimulai dan sebagai sumber hukum di samping syari’at, dipakai juga sumber-sumber di luar agama, di antaranya hukum Barat. Dan pada tahun 1840, keluarlah hukum pidana baru dan hukum dagang baru pada tahun 1850. Dan pada tahun 1847 didirikan mahkamah-mahkamah baru untuk urusan pidana dan sipil.

Sebagai tindak lanjut dari deklarasi Gulkhane, diumumkanlah Khatt-i Humayun pada tanggal 18 Pebruari 1856.[16] yang lebih banyak mengandung pembaharuan terhadap kedudukan Eropa karena desakannya, dan tujuannya adalah untuk memperkuat jaminan yang tercantum dalam piagam Gulkhane. Selanjutnya masyarakat non-muslim bebas melakukan pembaharuan tanpa ada perbedaan, dan kebebasan beragama dijamin dengan tidak memaksakan merubah agama. Perkara yang timbul antara orang yang berlainan agama diselesaikan oleh mahkamah campuran, serta perbedaan pajak yang dipungut dari rakyat dihapuskan.

Dengan demikian, kedua piagam yang menjadi dasar pembaharuan tanzimat mengandung faham sekularisme dalam berbagai institusi kemasyarakatan, terutama dalam institusi hukum. Hukum baru yang disusun banyak dipengaruhi oleh hukum Barat, seperti hukum pidana dan hukum dagang.

Gerakan tanzimat ini menumbuhkan bibit nasionalisme Turki di kemudian hari melalui gerakan Usmani Muda dengan berkeyakinan bahwa Turki hanya dapat dipertahankan bila mengadopsi peradaban Eropa. Mereka mengharapkan proses transformasi sistem pemerintahan kerajaan Turki dari sistem otokrasi-monarkis menjadi monarki konstitusional, dengan memberikan kepada mereka otonomi pemerintahan dan kebudayaan. Dan sebagai dampak nyata dari ideologi nasionalisme adalah runtuhnya sistem khilafah Usmani yang dibangun atas pemikiran politik keagaman yang bersifat supra nasional. Tokoh utama gerakan nasionalime ini adalah Mustafa Kemal.

Pembaharuan yang pertama dilakukan Mustafa Kemal ditujukan terhadap bentuk negara yang sekuler, dimana pemerintahan harus dipisahkan dari agama dan kedaulatan terletak di tangan rakyat. Ide ini telah diterima dalam sidang Majelis Nasional Agung (MNA) pada tahun 1920. dan pada tahun 1921 disusunlah satu konstitusi yang menjelaskan bahwa kedaulatan adalah milik rakyat. Dengan demikian, yang berdaulat di Turki bukan lagi Sultan tetapi raktat. Kemudian pada tahun 1922, dalam sidang MNA, kekuasaan khalifah dan sultan berangsur-angsur dikurangi dengan memisahkannya, yang kemudian satu persatu dihapus dan mendirikan sebuah negara yang berbentuk Republik pada tanggal 23 oktober 1923. Dan sebagai imbalan atas usul golongan Islam, maka ditambahkan satu artikel yang mengatakan bahwa agama negara republik Turki adalah Islam.[17] Hal ini berarti bahwa kedaulatan bukan sepenuhnya terletak di tangan rakyat, tetapi juga pada syari’at.

Akan tetapi, Reformasi Mustafa kemal di bidang hukum yang merupakan kebijakan untuk memisahkan Islam dari urusan keagamaan, mulai menghilangkan institusi keagamaan yang ada dalam pemerintahan, seperti; dihapuskannya Biro Syaikh al-Islam dan Mahkamah Syari’at pada tanggal 18 April 1924, dan hukum syari’at dalam soal perkawinan digantikan oleh hukum Swiss. Dengan demikian perkawinan tidak lagi dilakukan menurut syari’at, tetapi menurut hukum sipil, dan dalam masalah perceraian, wanita mendapat hak yang sama dengan pria. Demikian pula dalam hukum dagang, hukum pidana, hukum laut, dan hukum obligasi digunakan hukum Barat yang disesuaikan dengan kebutuhan rakyat Turki..

Pada tahun 1928, artikel tambahan dari konstitusi 1921 itu pun dihilangkan dan diganti dengan prinsip sekularisasi yang dimasukkan dalam konstitusi 1937.[18] Dengan demikian Turki resmi menjadi negara sekuler. Walaupun demikian umat Islam tetap merupakan mayoritas dan bebas melakukan ajaran agama.

Konstitusi Turki yang berlaku sejak tahun 1961, mengatur agama baik dalam teksnya maupun dalam rujukannya kepada serangkaian hukum organis menyangkut sekularisasi yang merupakan bagian dari hukum negara sejak tahun 1920-an. Konstitusi secara tegas tidak memperkenankan hukum organis yang meyangkut sekularisasi ini dijadikan sasaran tinjauan hukum dengan merintangi amandemen dan modifikasinya, karena hukum ini mengabadikan kepada prinsip sekularisasi. Hukum-hukum tersebut adalah :

1. Hukum tentang penyatuan pendidikan yang dikeluarkan pada tahun 1924.
2. Hukum tentang pemakaian topi yang dikeluarkan pada tahun 1925.
3. Hukum tentang penghapusan tekye dan zawiyat (asrama dan tempat ibadah sufi)
4. Ketentuan dalam hukum sipil yang berhubungan dengan perkawinan sipil
5. Hukum tentang penggunaan angka internasional
6. Hukum tentang abjad Latin yang dikeluarkan pada tahun 1928.
7. Hukum tentang penghapusan gelar efendi, bey, pasya, dan sebagainya
8. Hukum yang melarang pemakaian pakaian-pakaian tertentu yang dikeluarkan pada tahun 1927.

Tidak semua undang-undang organis mengenai sekularisasi disebutkan dalam konstitusi tahun 1961, seperti penghapusan kekhalifahan yang telah dilakukan pada tahun 1924. Dan di antaranya yang telah dicabut adalah undang-undang penggunaan bahasa Turki dalam azan (1931) dan larangan berziarah ke makam-makam suci. Dengan demikian azan kembali bisa dikumandangkan dalam bahasa Arab di bumi Turki. Namun demikian sekularisasi yang berlaku secara langsung tidak mampu ditantang oleh para kelompok Islam. Hal inilah yang menyebabkan ketegangan antara sekularisasi dan kesepakatan back to Islam menjadi masalah yang berkepanjangan.

Meskipun Turki merupakan negara sekuler, namun pertumbuhan keagamaannya sangat mencolok bagi sebagaian besar warga Turki. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya penduduk yang menjadi anggota sekte-sekte keagamaan, seperti sekte Nur yang didirikan oleh Said Nursi sampai beranggotakan sekitar 300.000 orang. Dan dalam bidang sarana keagamaan, sekarang Turki memiliki tidak kurang dari 62.000 masjid dan pembangunan masjid mencapai 1.500 buah per tahun. Selain itu telah dibangun lebih dari 2.000 unit sekolah Alquran.

Adapun isu keislaman di Turki harus dipahami kaitannya dengan perubahan sosial dan persaingan politik yang bersifat pluralistik. Di dalam negara Turki kontemporer, tradisi ulama perkotaan sebagian besar telah hancur dan tidak lagi berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat. Ideologi republik adalah sekuler, sementara kalangan atasan komitmen terhadap idiologi sekuler tersebut. Kelas terdidik perkotaan dari kalangan atasan Turki memandang Islam sebagai simbol keterbelakangan. Sebaliknya, tradisi Sufi-pedalaman tetap bertahan dan loyalitas keislaman masyarakat umum belum pernah tergoyahkan warga Turki senantiasa mengidentifikasikan diri sebagai muslim, bahkan sepanjang periode Kelamalis mereka senantiasa melaksanakan peribadatan di masjid-masjid dan di beberapa makam para wali.

Selanjutnya, tekanan ekonomi dan politik era pasca perang menimbulkan bangkitnya sejumlah gerakan dan partai yang komitmen terhadap re-Islamisasi negara dan masyarakat. Di antara yang paling besar adalah gerakan Said Nursi yang meraih pengaruh besar sebagai gerakan bawah tanah di Turki, sekalipun pemerintah berusaha keras melawan dan menghukum lantaran agitasi keagamaannya yang telah membangkitkan kembali semangat perjuangan Islam.

Melihat perkembangan tersebut di atas, dapatlah dikatakan bahwa Turki sebagai negara sekuler, namun belumlah sekuler betul, kerana Republik Turki Mustafa Kemal masih mengurus soal agama melalui Departemen Urusan Agama, sekolah-sekolah Pemerintah untuk imam dan khatib, dan fakultas Ilahiyat dari perguruan tinggi Negara, Universitas Istambul.

Setelah Mustafa Kemal meninggal pada tahun 1938, usaha pembaharuannya dijalankan terus oleh para pengikutnya. Namaun dua tahun kemudian, timbul gerakan “back to Islam” . dan pada tahun 1949, pendidikan agama dimasukkan kembali ke dalam kurikulum sekolah, dan pendidikan agama dibuat bersifat wajib. Mulai tahun 1950, orang-orang Turki telah dibolehkan naik haji ke Mekah. Tarekat yang selama ini tetap mempunyai pengikut besar secara rahasi di kalangan petani dan buruh, mulai berani meonjolkan diri. Demikian pula dalam bidang politik, Islam juga telah memulai memainkan peranan.[19] Hal ini membuktikan bahwa sekularisme Mustafa Kemal tidaklah menghingkan agama Islam dari masyarakat Turki, ia hanya bermaksud menghilangkan kekuasaan agama dari bidang pilitik dan pemerintahan.

III. PENUTUP / KESIMPULAN

1. Bahwa perkembangan hukum Islam di Turki dapat dibagi ke dalam tiga periode besar yaitu: periode awal (650-1250), periode pertengahan (1250-1800), dan periode modern (1800 sampai sekarang).
1. Pada periode awal, hukum Islam dilaksanakan secara murni sesuai dengan ajaran Alquran dan Sunnah bahkan cenderung tradisional dan konservatif.
2. Pada periode pertengahan sudah ada usaha untuk memasukkan hukum Islam ke dalam perundang-undangan negara. Dan di akhir periode pertengahan tersebut pemikiran pembaharuan hukum Islam sudah mulai muncul.
3. Pada periode modern terjadi pembaruan besar-besaran di Turki termasuk upaya Turkinisasi Hukum Islam yang dipelopori oleh Mustafa Kemal.

Tinggalkan komentar

Situs yang Didukung WordPress.com.

Atas ↑